Gajah yang selalu menjadi lambang dari sesuatu yang besar dan
kuat, kini terancam punah. Ikuti wawancara Nuim Khaiyath bersama Fikri Pohan,
seorang pawang gajah di Flying Squad WWF Taman Nasional Tesso Nilo, Riau soal
seluk beluk kehidupan gajah.
Organisasi
perlindungan lingkungan hidup dan marga satwa, World Wildlife Fund (WWF)
memperingatkan bahwa populasi gajah Sumatera akan punah dalam waktu 30 tahun
bila habitat alamiahnya tidak diselamatkan dari penjarahan manusia.
Apabila area habitat
gajah liar terus direbut oleh manusia, maka makhluk yang pernah digunakan oleh
Hannibal, sekitar tahun 200-an sebelum Masehi untuk menggasak Roma ini hanyalah
akan menjadi nama dan kenangan belaka.
Kini, WWF telah
membentuk satuan tugas (satgas) khusus bernama Flying Squad WWF untuk Taman
Nasional Tesso Nilo, Riau. Tujuan satgas khusus adalah untuk mengasuh gajah
dalam konservasi. Salah seorang pawang gajah adalah Fikri Pohan.
Dalam wawancara
dengan Radio Australia siaran Bahasa Indonesia, Fikri menjelaskan bahwa
gajah-gajah asuhannya sering dikerahkan untuk mengamankan habitat manusia yang
diserang gajah liar.
Ia pun mengungkapkan
bahwa gajah sebenarnya sangat sentimental dan emosional. Misalnya, saat ada
gajah yang mati, maka biasanya gajah-gajah dari gerombolan lain akan melakukan
"ziarah" ke tempat di mana rekannya mati.
Sebagai seorang
pawang, ia pun merawat gajah-gajah dengan penuh kasih sayang. Misalnya,
memandikan gajah-gajah asuhannya dua kali sehari, yang memakan waktu sekitar satu
jam.
Dalam wawancara ini
pun, Fikri menceritakan kehidupan pribadinya. Melalui gajahlah, ia akhirnya
menemukan jodohnya yang juga seorang perawat gajah. Uniknya, saat menggelar
upacara pernikahan mereka, gajah-gajah asuhannya ikut mengiringi dalam ijab
kabul.
No comments:
Post a Comment