1.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Penyakit
Kesehatan ternak merupakan kunci penentu
keberhasilan suatu usaha peternakan. Motto klasik tetap berlaku sampai saat
ini, yaitu pencegahan lebih baik daripada pengobatan, sehingga
tindakan-tindakan seperti sanitasi, vaksinasi dan pelaksanaan biosekuritas di
lingkungan peternakan secara konsisten harus dilaksanakan.
Arti “ sehat “ bagi ternak adalah suatu kondisi
dimana di dalam tubuh ternak berlangsung proses-proses normal, baik proses
fisis, kimiawi , biokimiawi dan fisiologis yang normal. Sebaliknya “ sakit ”
adalah kondisi ternak yang sebaliknya.
Seringkali pengobatan terhadap suatu penyakit
tidak membuahkan hasil, hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain harus
dimengerti bahwa tidak semua penyakit dapat diobati, seperti penyakit virus.
Penyakit-penyakit non infeksius harus diatasi dengan memperbaiki tatalaksana
budidaya yang baik dan benar. Berdasarkan pemikiran tersebut sangat perlu untuk
diketahui adanya faktor-faktor yang dapat menyebabkan penyakit pada ternak,
sehingga dapat dilakukan metode penanggulangan penyakit yang efisien dan
efektif.
Timbulnya penyakit pada ternak merupakan proses
yang berjalan secara dinamis dan merupakan hasil interaksi tiga faktor,
yaitu ternak, agen penyakit (pathogen)
dan lingkungan. Lingkungan memegang peran yang sangat penting
dalam menentukan pengaruh positif atau negatif terhadap hubungan antara ternak
dengan agen penyakit.
Interaksi ketiga faktor yang normal dan seimbang
sebagaimana akan menghasilkan ternak yang sehat dan tidak ada wabah
penyakit.
Keseimbangan ketiga faktor di atas tidak selalu
stabil, pada keadaan tertentu akan berubah. Jika hal ini terjadi maka
ternak yang dipelihara akan sakit dan menunjukkan tampilan (performance)
yang tidak memuaskan.
Terdapat beberapa kondisi yang mampu menciptakan
perubahan keseimbangan ketiga faktor tersebut. Kondisi-kondisi tersebut antara
lain adalah (1) perubahan-perubahan yang terjadi pada ternak, misalnya
penurunan kondisi tubuh yang mungkin disebabkan oleh beberapa hal, antara lain
: kualitas dan kuantitas zat-zat gizi dalam pakan yang kurang, faktor-faktor
yang mampu menekan timbulnya kekebalan (immunosupressif) dalam tubuh
ternak, sehingga akan terjadi kegagalan dalam program vaksinasi. Di lain pihak
terjadi peningkatan tantangan terhadap ternak oleh mikroorganisme yang hidup
dan berkembang di sekeliling ternak akibat sistim biosekuritas yang tidak
konsisten, waktu istirahat kandang yang minim, kegagalan program vaksinasi dan
pengobatan (2) terjadi perubahan hanya pada aspek lingkungan, sedangkan kondisi
hewan ternak dan mikroorganisme tidak berubah. Perubahan lingkungan ini mungkin
disebabkan oleh perubahan iklim, perubahan suhu dan kelembaban lingkungan yang
ekstrim, ketinggian tempat, kesalahan menejemen, seperti : kepadatan kandang
yang tinggi, ventilasi yang jelek, intensitas cahaya yang terlalu tinggi,
kegaduhan suara dan tingginya tingkat polusi. Kondidi-kondisi lingkungan
demikian akan berdampak negatif bagi ternak yang berakibat penurunan kondisi
tubuh ternak, sebaliknya menguntungkan bagi mikroorganisme untuk berkembang
biak, baik jumlah maupun jenisnya.
Tiga aspek usaha penting harus dilakukan guna
mencegah wabah penyakit di lingkungan peternakan, yaitu (1) usaha-usaha
mengurangi jenis dan jumlah mikroorganisme, terutama yang patogen di sekeliling
ternak yang dipelihara (aspek mikroorganisme) (2) usaha-usaha
mencegah terjadinya kontak antara ternak yang dipelihara dengan mikroorganisme
patogen (aspek lingkungan) dan (3) usaha-usaha meningkatkan
daya kebal tubuh ternak yang dipelihara (aspek ternak).
Aspek
Mikroorganisme
Upaya untuk mengurangi jumlah dan jenis
mikroorganisme patogen di sekeliling ternak yang dipelihara dapat ditempuh
melalui pendekatan-pendekatan antara lain mengadakan identifikasi
terhadap mikroorganisme secara lengkap. Identifikasi bisa dilakukan dengan
deteksi terhadap sifat-sifat epidemiologis mikroorganisme, seperti cara
penyebaran, kecepatan menyebar, pola kematian ternak, gejala-gejala
klinis khas yang ditimbulkan bila menginfeksi spesies ternak tertentu dan
aspek-aspek patogenesisnya (perjalanan penyakit di dalam tubuh ternak).
Identifikasi mikroorganisme juga dapat dilakukan
dengan melakukan anamnesa (menganalisis data tentang sejarah
penyakit dalam lingkungan suatu peternakan), yang merupakan langkah awal
diagnosis penyakit. Pengamatan terhadap perubahan pasca mati dan uji
laboratorium akan memperkuat diagnosis. Apabila jenis mikroorganisme penyebab
penyakit sudah diketahui, maka dapat diketahui pula pola penularan
penyakit dari ternak satu ke ternak yang lain, dari satu kandang ke kandang
lain bahkan dari peternakan satu ke peternakan yang lain, sehingga bisa
dilakukan langkah-langkah yang tepat untuk upaya pencegahan maupun tindakan
pengobatan.
Aspek
Lingkungan
Guna mencegah kontak antara ternak dengan
mikroorganisme patogen, maka perlu dilakukan usaha-usaha antara lain adalah
mengontrol lalu lintas kendaraan, alat-alat, karyawan kandang yang bisa menjadi
media bagi mikroorganisme untuk masuk ke dalam lingkungan suatu flok ternak
atau peternakan. Melakukan sanitasi lengkap sebagai tindakan pencegahan, baik
berupa dekontaminasi maupun desinfeksi, memberantas hewan liar yang bisa
berperan sebagai vektor suatu penyakit, seperti tikus, burung liar,
insekta. Manajemen all in all out sangat perlu dipertimbangkan. Pengelompokan
ternak berdasarkan umur perlu dilakukan untuk mencegah penularan penyakit dari
ternak berumur lebih tua ke ternak muda. Usaha lain yang harus diperhatikan
juga yaitu mencegah kontaminasi bahan pakan dan air minum yang digunakan.
Aspek
Ternak
Kondisi tubuh ternak yang tetap baik akan tahan
terhadap serangan penyakit. Salah satu faktor terpenting guna penciptaan
kondisi ternak yang ideal adalah pemilihan strain ternak secara tepat yang
sesuai dengan kondisi lingkungan peternakan setempat.
Upaya lain yang bisa ditempuh untuk meningkatkan
kondisi tubuh ternak, antara lain adalah pemberian pakan yang sesuai
kebutuhan, baik secara kualitas maupun kuantitas. Vaksinasi dilakukan secara
tepat waktu dengan meminimalkan faktor-faktor penyebab kegagalan vaksinasi,
sehingga akan menstimulir terbentuknya kekebalan ternak secara sempurna.
Penggunaan antibiotik harus terkontrol, cocok untuk menekan perkembangan atau
membunuh mikroorganisme penyebab penyakit tertentu dan dengan dosis
yang tepat. Memperlakukan ternak dengan penuh kasih sayang, tidak kasar,
memperkecil faktor-faktor yang merugikan ternak, seperti adanya parasit
cacing, mikotoksin dan zat antinutrisi di dalam bahan pakan, logam-logam dalam
air minum.
1.2. Agen-agen Penyebab Penyakit
Agen penyebab penyakit pada ternak dapat
dikelompokkan ke dalam 3 kelompok, yaitu a) penyebab fisik, b) penyebab
kimiawi, dan c) penyebab biologis.
Penyebab
Fisik
Penyakit ternak yang disebabkan oleh agen fisik
antara lain luka akibat benturan, terjatuh karena lantai kandang yang
licin pada sapi, terjepit pada ayam. Penanganan kasar oleh anak kandang sering
kali menyebabkan luka-luka pada tubuh ternak.
Penyebab
Kimiawi
Penyakit yang disebabkan oleh agen penyakit yang
bersifat kimiawi antara lain : penyakit defisiensi dan keracunan. Penyakit
defisiensi mineral, seperti kalsium menyebabkan pertumbuhan terhambat, konsumsi
pakan turun, laju metabolik basal meningkat, aktivitas menurun dan
osteoporosis. Defisiensi vitamin, misalnya vitamin D menyebabkan rachitis,
terutama pada hewan muda dan osteomalasia pada ternak yang sudah sempurna
tulangnya, namun diberi pakan dengan kadar vitamin D yang kurang dari
kebutuhan Osteomalasia adalah suatu keadaan yang ditandai oleh
dekalsifikasi sebagian tulang sehingga mengakibatkan tulang menjadi lunak dan
rapuh.
Turkey Diseases merupakan penyakit
akibat keracunan oleh mikotoksin yang mencemari bahan pakan pernah terjadi di
Inggris dan menyebabkan kematian sampai 10.000 ekor kalkun. Mikotoksin adalah
sejenis racun yang dihasilkan oleh sejenis jamur. Mikotoksin terkenal yang
dihasilkan oleh Aspergillus flavus disebut aflatoksin bersifat
sangat toksik bagi ternak, baik unggas maupun ruminansia.
Keracunan bisa juga disebabkan oleh bahan-bahan
anorganik, seperti : H2S, NH3, CH4, merkaptan
dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut sebagai kontaminan yang dibebaskan dari
kotoran ternak. Amoniak memiliki arti penting pada peternakan ayam oleh karena
gas tersebut tersebar luas di peternakan dan memberikan andil yang cukup besar
dalam mempengaruhi kesehatan ternak maupun dan manusia. Toleransi
maksimal manusia terhadap amoniak sebesar 5 – 10 ppm dan pada unggas sebesar 15
– 20 ppm. Pada manusia, kadar amoniak 20 ppm menyebabkan iritasi mata dan
saluran pernapasan. Kadar amoniak 50 ppm akan menghambat pertumbuhan babi dan
apabila terjadi kontak dalam waktu yang lama menyebabkan ternak tersebut
terserang pneumonia maupun penyakit pernapasan yang lain. Pada kadar tersebut
broiler akan terganggu pertumbuhannya sampai 7%. Pada kadar amoniak antara 50
–100 ppm akan mengganggu pertumbuhan broiler dan pulet sebesar 15%.
Rumah Potong Hewan (RPH) juga merupakan sumber
pencemaran, dimana biasanya berupa isi saluran pencernaan/feses dan bahan-bahan
lain berupa sisa daging, lemak dan darah yang dibuang langsung ke sungai.
Limbah tersebut mengandung N, P dan K serta kontaminan biologis yang berupa
bakteri, jamur, virus, parasit, yang merupakan sumber infeksi yang bisa menular
ke ternak lain dan banyak diantaranya bisa menyerang manusia. Sumber
polusi lain yang perlu diwaspadai, adalah bahan-bahan buangan,
berupa sampah organik, bahan buangan dari industri pengolahan pangan,
pabrik kertas, penyamakan kulit, industri pembekuan udang, dan lain-lain.
Kebanyakan bahan-bahan buangan mengandung karbon
sebagai unsur yang terbanyak, sehingga diperlukan oksigen untuk proses oksidasi
menjadi karbon dioksida. Perlu diketahui, bahwa sebelum terbentuk CO2,
mungkin akan terbentuk hasil-hasil oksidasi sementara, seperti : alkohol, asam,
amina, amonia dan hidrogen sulfida. Senyawa-senyawa tersebut menimbulkan bau
busuk dan bersifat racun bagi hewan dan manusia.
Penyebab
Biologis
Penyebab penyakit yang berupa agen biologis
antara lain : bakteri, virus, jamur, protozoa dan metazoa. Penyakit akibat agen
biologis ini bersifat menular (infeksius), sedangkan agen kimiawi maupun fisik
bersifat tidak menular (non infeksius).
Pada umumnya penyakit virus bersifat sangat akut
karena menimbulkan angka kematian yang tinggi bagi ternak dan penyakit ini
tidak dapat diobati, hanya dapat dicegah dengan sanitasi dan vaksinasi.
Pengobatan pada penyakit virus dengan antibiotik dimaksudkan tidak untuk membunuh
virus, namun hanya bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi
sekunder oleh bakteri yang memperburuk kondisi ternak. Demikian pula pemberian
vitamin dan cairan elektrolit pada penyakit virus bertujuan untuk
mempertahankan kondisi tubuh ternak supaya tetap baik.
Penyakit bakterial pada ternak tidak selalu
bersifat kronis. Tingkat keparahan penyakit sangat tergantung pada jenis
dan jumlah bakteri yang menginfeksi. Penggunaan antibiotik yang tepat
sesuai dengan jenis bakteri yang menyerang bisa menghasilkan angka kesembuhan
yang memuaskan, namun penggunaan antibiotik yang kurang tepat akan menyebabkan
terjadinya resistensi dan meningkatkan residu antibiotik pada
produk-produk ternak.
Penyakit parasit yang disebabkan oleh parasit
internal meliputi penyakit parasit cacing, seperti nematodosis,
trematodosis dan cestodosis. Contoh penting yang lain adalah coccidiosis
yang disebabkan oleh protozoa. Penyakit-penyakit parasit eksternal, antara
lain scabies atau kudisan yang sering menyerang ternak ruminansia,
disebabkan oleh Sarcoptes scabiei. Penyakit-penyakit parasit
eksternal lain yang secara ekonomis juga merugikan antara lain adalah
caplak, kutu, lalat, pinjal tungau, dan lain-lain.
1.3. Cara Penularan Penyakit
Mekanisme masuknya agen penyakit ke dalam suatu
peternakan sangat penting dipelajari, sehingga dapat diketahui prosedur yang
tepat dalam pengendalian suatu penyakit.
Penularan penyakit dari ternak sakit ke ternak
yang peka bisa terjadi melalui beberapa mekanisme yang secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi 2 macam, yaitu penularan secara langsung
dan secara tidak langsung.
Penularan
Secara Langsung
Penularan secara langsung
merupakan penularan bibit penyakit dari ternak penderita yang secara klinis
terkena penyakit atau ternak carrier yang tidak menunjukkan gejala klinis ke
ternak lain yang peka. Penularan dapat terjadi saat bibit penyakit memperbanyak
diri di dalam tubuh penderita, penderita mengadakan kontak dengan ternak peka.
Keadaan ini sangat mungkin terjadi terutama pada peternakan dengan ternak
beragam umur yang dicampur dalam satu lokasi, sebagai contoh cara
penularan beberapa penyakit pada ayam, antara lain IInfectious
Laryngotracheitis) (ILT), salmonellosis, pasteurellosis/fowl cholera,
coryza (snot) dan mikoplasmosis (Chronic Respiratory Diseases, CRD).
Pada ruminansia, penyakit yang dapat menular melalui kontak langsung melalui
perkawinan antara lain adalah brucellosis.
Penularan Secara Tidak Langsung
Penularan secara tidak
langsung adalah penularan bibit penyakit secara mekanis melalui perantaraan
berbagai hal, antara lain petugas kandang yang terkontaminasi, kandang
dan peralatan yang tercemar, vektor yang dapat berupa serangga, rodensia
(binatang mengerat), burung liar, dan mungkin pula penyakit yang dapat ditularkan
melalui udara/debu yang terkontaminasi yang diterbangkan oleh
angin.
Cara-cara penularan penyakit pada unggas
yang sudah banyak dikenal, antara lain adalah penularan melalui indung
telur (transovarial), permukaan kerabang telur, angin, vektor biologis, vaksin,
pakan dan kantong pakan.
a. Melalui Indung Telur (Transovarial)
Penularan penyakit secara transovarial adalah
penularan bibit penyakit secara vertikal dari induk kepada anak keturunannya,
melalui telur. Beberapa contoh penyakit pada unggas yang dapat menular secara
vertikal, antara lain adalah mikoplasmosis, pullorum, reovirus, adenovirus dan
lain-lain.
b. Melalui Permukaan kerabang Telur
Cara penularan melalui permukaan kerabang telur
sering terjadi pada bakteri Escherichia. coli dan Salmonella
spp. Pada unggas, bakteri ini memasuki pori-pori kerabang telur dan
menimbulkan infeksi terhadap embrio yang sedang tumbuh. Penularan semacam ini
sering terjadi pada sarang telur (nest box) yang terkontaminasi oleh
bakteri yang keluar dari kloaka bersama-sama feses ataupun saat telur akan
dikeluarkan dan melewati kloaka. Kemungkinan pula dapat terjadi pada mesin
penetasan sehingga anak ayam dapat terinfeksi secara langsung atau tidak
langsung.
c. Melalui Angin
Penularan penyakit virus, seperti ND dan ILT bisa
terjadi melalui debu yang diterbangkan angin sampai radius beberapa kilometer.
d. Vektor Biologis
Penularan penyakit bisa terjadi melalui vektor
biologis, seperti burung liar, tikus, serangga dan lain-lian. Penyakit
influenza pada unggas dan Pasteurella spp bisa disebarkan oleh burung
liar. Penyakit pasteurellosis dan salmonellosis ditularkan oleh tikus.
Serangga banyak bertanggung jawab terhadap penyebaran berbagai penyakit,
antara lain koksidiosis yang diperantarai oleh mrutu (Simulium) dan
agas (Colicoides). Pox (cacar ayam) ditularkan oleh nyamuk. Penyakit Marek,
gumboro, salmonellosis, pasteurellosis dapat ditularkan oleh kumbang.
Lalat dapat menularkan penyakit campilobakteriosis. Pada ruminansia,
penyakit fasciolosis ditularkan melalui siput dan anthrax ditularkan melalui
lalat kandang.
e. Melalui Vaksin
Mycoplasma seringkali mudah mencemari vaksin
hidup. Bibit penyakit lain juga dapat ditularkan melalui peralatan vaksinasi.
f. Melalui Pakan dan Kantong Pakan.
Salmonella spp, virus penyebab gumboro
dan paramyxovirus dapat menginfeksi unggas yang peka melalui pakan yang
terkontaminasi. Penyakit ND bisa ditularkan melalui penggunaan kantong pakan
bekas.
_________________________________
Sumber Bacaan :
- Blaha, T., 1989. Applied Veterinary Epidemiology.
Development in Animal and Veterinary Sciences, 21. Elsevier.
Amsterdam-Oxford-New York-Tokyo.
- Fardiaz, S., 1992. Polusi Air dan Udara. Penerbit
Kanisius, Kerjasama dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi,
Institut Pertanian Bogor.
- Rahayu, ID., 2000. Mungkinkah Mycoplasma Dicegah dan
Diobati?. Infovet Edisi 071 Juni 2000.
- Rahayu, ID., Kunci Sukses Mengatasi Kegagalan Program
Vaksinasi. Poultry Indonesia, Mei – 2000.
- Sudardjat, S., 1990. Epidemiologi Veteriner. Direktorat
Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.
- Shane, SM.,1998. Buku Pedoman Penyakit Unggas.
(Terjemahan). Alih Bahasa : Tangenjaya dkk.. American Soybean
Association.
- Tabbu, CR., 1992. Pencemaran Akibat Industrialisasi
Peternakan. Infovet 004 Agustus – Oktober 1992.
- Unandar, T., 2001. Lingkungan dan Kesehatan Ayam.
Poultry Indonesia, September 2001.
No comments:
Post a Comment