Radang usus nekrotik (Necrotic
Enteritis/NE) disebabkan oleh Clostridium perfringens tipe A dan C. Manifestasi
penyakit ini pada dinding usus berupa luka berdarah (lesi hemorrhangis)sampai
kematian jaringan (nekrose) mukosa usus.
NE banyak ditemukan pada ternak unggas,
khususnya pada ayam pedaging dan ayam petelur. Akan tetapi kejadian penyakit
ini sering kurang dikenali atau kurang diperhatikan oleh peternak. Pasalnya,
kejadian penyakit yang banyak ditemukan di lapangan seringkali dalam bentuk
subklinis, dengan tanda-tanda klinis diare, feed conversion ratio (FCR)-nya jelek,
dan pertumbuhannya juga kurang bagus. Pada NE subklinis tidak menimbulkan kerugian
yang nyata, seperti kematian dalam jumlah besar, sehingga masalah tersebut kurang
diperhitungkan oleh peternak.
Secara normal, kuman Cl. Perfringens
memang sudah ada di dalam saluran pencernaan ayam sehat, namun dalam keadaan
tertentu, misalnya terjadi gangguan keseimbangan sistem pencernaannya, kuman
tersebut akan dapat berproliferasi (memperbanyak diri) dan memproduksi toksin
sehingga dapat menimbulkan penyakit.
Menimbulkan
Kerugian
CL. Perfringens Tipe A dan C dan toksin
alfa dan beta sebagai penyebab NE pada ayam. Bakteri ini termasuk Gram positif,
berbentuk batang dan bersifat anaerob. Toksin alfa dihasilkan oleh Cl.
Perfringens tipe A dan toksin alfa dan beta dihasilkan oleh Cl.
Perifringens Tipe C. Toksin inilah yang
dapat menyebabkan nekrose pada mukosa (selaput lendir) usus. Peningkatan
populasi Cl. Perfringens pada usus akan disertai dengan pembentukan
enterotoksin yang menyebabkan kematian dan banyak menimbulkan kerugian ekonomi.
Umumnya NE terjadi karena beberapa
kondisi akibat komplikasi akhir yang akut dari penyakit usus utama, misalnya
akibat koksiodiosis, migrasi cacing ascarida, dsb. Juga dapat terjadi, apabila
keseimbangan mikroflora dalam usus terganggu, karena penggunaan antibiotik yang
tidak tepat atau faktor fisik yang merusak pertahanan usus. Jadi perlukaan
mukosa usus (akibat koksidia atau cacing askaris) merupakan faktor predisposisi
terjadinya NE. Selain itu, tingginya protein hewani (tepung ikan, tepung tulang,
dsb), agen penyakit yang bersifat imunosupresif (chiken anemia virus/CAV, Gumboro
dan Marek) juga berpengaruh bagi timbulnya NE.
Di dalam usus ayam terdapat ratusan
mikrobia (bakteri, protozoa, virus dan berbagai mikroorganisme lainnya). Cl. Perfringens
merupakan salah satu komunitas yang secara normal ada dalam jumlah yang rendah.
Namun apabila lingkungan berubah, kuman tersebut akan merubah metabolismenya
dan mulai menimbulkan kerusakan.
Selain di dalam fases, Cl. Perfringens
juga dapat ditemukan di dalam tanah, debu, pakan yang terkontaminasi dan liter
atau isi usus. Pada ayam sehat, kuman ini dapat dijumpai dalam jumlah di bawah
100 colony forming unit/CFU per gram isi usus. Namun pada kasus NE atau NE
subklinis, jumlah Cl. Perfringens dapat meningkat menjadi 106 sampai 108CFU/gram
isi usus. NE biasanya terjadi pada ayam pedaging umur 2-5 minggu dengan sistem
kandang berlantai. Tetapi ledakan penyakit NE pada ayam petelur komersial yang
berumur 3-6 bulan dapat terjadi pada kandang sistem lantai atau kandang baterai.
Bisa
Mati Mendadak
Gejala klinis NE yang terlihat berupa:
depresi, penurunan nafsu makan, malas bergerak, diare dan bulu kusam. Gejala
klinis ini berlangsung singkat, karena seringkali ayam mati mendadak. Dalam
pemeriksaan bedah bangkai (secara Patologi Anatomi) dijumpai kerusakan usus
kecil, terutama di daerah jejenum dan ileum, tetapi kelainan pada sekum dapat
pula terjadi. Usus menjadi rapuh dan berisi gas. Lapisan usus dilapisi oleh
lapisan pseudomembran berwarna kuning kecoklatan atau hijau. Bercak-bercak
pendarahan dapat juga ditemui. Secara eksperimental, penebalan mukosa duodenum
dan jejenum dapat ditemui setelah 3 jam inokulasi. Setelah 5 jam terjadi nekrosis
mukosa usus, kemudian berkembang menjadi fibrinonekrotik yang lebih parah
dengan pembentukan membrane diptheric. Secara mikroskopis, terlihat kolonisasi
Cl. Perfringens pada epitel vili usus yang disertai nekrosa koagulatif dari
mukosa.
Diagnosa NE didasarkan pada sejarah
terjadinya penyakit, kematian hewan yang mencolok, gejala klinis, kelainan
patologik berupa kerusakan mukosa usus, hepatitis dan isolasi agen penyebabnya.
Sedangkan pada kasus NE subklinis, biasanya tidak terjadi kematian ayam dalam
jumlah yang mencolok, tetapi ditandai adanya diare pada sejumlah ayam yang
terserang, pertumbuhan yang tidak normal dan FCR yang jelek. Dalam NE sub
klinis terjadi peningkatan Cl. Perfringens pada usus ayam.
Gejala klinis NE pada ayam yang mungkin
muncul pada minggu pertama sampai pada minggu ke tujuh dapat dilihat pada Tabel
1.
Pengendalian
Penyakit
Beberapa hal yang perlu diperhatikan
untuk mengendalikan masalah NE pada ayam antara lain: pertama, menjaga
kebersihan kandang sangat penting. Kelembagaan litter atau alas kandang harus
diperhatikan. Sebelum penempatan hewan harus dilakukan desinfeksi dengan
kombinasi desinfektan yang dapat membunuh oocyst koksida. Penggunaan
desinfektan bersektrum luas (virusidal, baktersidal) diharapkan dapat efektif terhadap
virus, bakteri dan fungal.
Kedua, penggunaan antibiotik untuk
pengobatan dan pencegahan penyakit harus dengan dosis yang tepat. Pemakaian
antibiotik yang berlebihan dapat menimbulkan resistensi bakteri terhadap
antibiotik. Penggunaan antibiotik dalam pakan (bacitrasin, lincomycin, dsb)
dapat menimbulkan resistensi Cl. Perfringens. Oleh karena itu, beberapa Negara
di Eropa telah melarang penggunaan antibiotik dalam pakan untuk memacu
pertumbuhan (Growth promoter) untuk pencegahan penyakit.
Ketiga, pemberian kultur hidup
mikroorganisme yang diperoleh dari ayam dewasa yang sehat pada anak ayam dapat
mengatasi kolonisasi bakteri pathogen (competitive exclusion). Diharapkan
bakteri non pathogen akan berkompetensi dengan bakteri pathogen. Cara ini
dilakukan untuk mengatasi NE, ternyata dapat memberikan hasil baik dan dapat
memperbaiki penampilan ayam serta efektif mengatasi pengaruh NE pada ayam.
Keempat, vaksinasi pada induk ayam dapat
melindungi ayam terhadap toksin. Di lapangan, penggunaan vaksin pada induk ayam
untuk melindungi anak turunannya, secara ekonomis sangat menguntungkan.
Drh. Tarmudji, MS
Peneliti pada Balai Besar
Penelitian Veteriter, Bogor.
No comments:
Post a Comment