Inseminasi Buatan merupakan salah satu teknik rekayasa dibidang reproduksi, penerapan yang umum terutama pada hewan mammalia. Inseminasi buatan sendiri berarti teknik memasukkan semen ke dalam organ reproduksi betina dengan bantuan suatu alat yang dilakukan oleh manusia. Dahulu inseminasi buatan pertama kali diterapkan menggunakan semen cair, namun seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi maka berlanjut ke penggunaan semen beku, bahkan sampai saat ini dengan inseminasi buatan dapat menentukan jenis kelamin anak yang diinginkan yang kita kenal dengan istilah semen sexing meskipun keberhasilan penentuan jenis kelamin saat ini masih bervariasi.
Jika kita tengok kembali ke belakang, aplikasi IB di Jawa Tengah telah berjalan sekitar 46 tahun (1953-2009). Indikasi perubahan genetik sudah mulai kita rasakan. Apabila dahulu ternak-ternak murni lokal kita (PO dan Brahman) masih banyak populasinya dengan mutu genetis yang masih murni (belum ada persilangan dengan sapi Eropa:Simental dan Limousin), maka permasalahan seputar gangguan reproduksi masih relatif sedikit sehingga pelaksanaan kawin IB keberhasilannya cukup baik. Berbeda dengan kenyataan saat sekarang ini dimana jumlah ternak lokal semakin menipis dan ternak persilangan semakin banyak. Hal ini diikuti dengan semakin banyaknya permasalahan gangguan reproduksi yang muncul, dari banyaknya kasus kawin berulang, kelainan organ reproduksi, kasus silent heat, dll. Jika hal ini terus dibiarkan maka sangatlah mungkin terjadinya peningkatan nilai service per conception. Angka service per conception menggambarkan jumlah kawin suntik yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu kali kebuntingan. Dengan peningkatan service per conception maka berarti memperbesar biaya pemeliharaan betina sehingga menjadi kurang efisien. Lebih jauh akibat yang dirasakan jumlah betina lokal produktif akan semakin sedikit.
Maka dengan teknik IB menggunakan semen beku sexing, kita dapat menentukan jenis kelamin anak keturunannya. Dengan arah pengembangan semen sexing jantan untuk sapi sapi Eropa (Simmental dan Limousin) dan semen sexing betina untuk sapi lokal (Brahman dan PO) serta FH untuk meningkatkan produktifitas susu.
Berbagai teknik sexing pun dikembangkan untuk memperoleh hasil yang optimum. Beberapa teknik sexing diantaranya teknik sentrifugasi gradien densitas percoll, sentrifugasi densitas albumin, filtrasi sephadex, teknik flow cytometry, dll. Saat ini teknik terakhir yang disebut diatas (flow cytometry) adalah teknik yang menghasilkan proporsi spermatozoa X dan Y terbaik akan tetapi alat yang digunakan sangat mahal sehingga sulit diaplikasikan. Teknik yang paling murah dan mudah diaplikasikan adalah teknik sentrifugasi dengan densitas percoll maupun albumin.
Teknik Sexing Spermatozoa
Secara umum, proporsi perbandingan spermatozoa X dan Y dalam satu ejakulat semen adalah seimbang (50:50) sehingga jenis kelamin keturunannyapun 50:50. Dengan teknik sexing maka komposisi tersebut dapat di modifikasi. Sexing spermatozoa X dan Y didasarkan atas perbedaan karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing jenis spermatozoa antara lain kandungan DNA, ukuran spermatozoa, motilitas, muatan permukaan serta fluoresensi kromosom. Spermatozoa X mengandung kromatin lebih banyak daripada sperma Y sehingga ukuran kepalanya lebih besar daripada spermatozoa Y (Hafez dan Hafez, 2000), selain itu spermatozoa X mengandung DNA 3,8% lebih banyak daripada Y (Garner dan Seidel, 2000).
Beberapa studi tentang metode separasi telah dilakukan, beberapa metode separasi yang dikembangkan berdasarkan perbedaan tersebut beserta hasil yang diperoleh seperti tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Teknik Separasi Spermatozoa X dan Y
Teknik Separasi | Hasil |
Sedimentasi pada media dengan imobilisasi | Hasil inseminasi dengan semen tersebut menghasilkan 70% betina |
Skim milk, glycin, sodium sitrat, gliserol | Meningkatkan jumlah anak jantan yang dilahirkan bila menggunakan lapisan atas |
Albumin kolom | Spermatozoa berhasil dibekukan |
Velocity sedimentation | Sedimentasi berdasarkan ukuran, densitas dan bentuk kepala. Faktor dominan: ukuran kepala |
Sentrifugasi gradien densitas | Dikembangkan dengan waktu yang pendek, sentrifugasi dengan waktu pendek tidak berpengaruh signifikan pada difusi |
Motilitas dan elektroforesis | Spermatozoa yang imotil akan bergerak ke anoda pada pH netral. Ketika kondisi konsisten, spermatozoa motil akan bergerak menuju katoda |
Iso-electric focusing | Spermatozoa membentuk lapisan atau suspensi yang akan bergerak kearah iso-elektrik |
H-Y antigen | Spermatozoa diperlakukan dengan serum H-Y. Inseminasi terhadap tikus menghasilkan 45,4% jantan sedangkan kontrol 53% |
Flow sorting by DNA | Spermatozoa Y yang berhasil disorting sebanyak 72-80% |
Sephadex kolom | Diperoleh 70% spermatozoa X dengan cara spermatozoa dimasukkan dibagian atas. Filtrat diperoleh spermatozoa X sebanyak 65-85%. |
Sumber: Hafez dan Hafez, (2000)
Sexing Spermatozoa dengan Gradien Albumin
Pemisahan spermatozoa dengan menggunakan Bovine Serume Albumin (BSA) sebagai sumber albumin telah dilakukan sebelumnya. BSA merupakan bahan kimia yang berisi albumin yang berasal dari sapi dengan kandungan albumin 100 mg/ml. Pemisahan dengan menggunakan albumin merupakan metode yang cukup fleksibel dan mudah diterapkan di lapangan. Metode ini didasarkan pada perbedaan motilitas sperma X dan Y sebagai implikasi dari perbedaan massa dan ukuran.
Susilawati dkk (1999) mengemukakan hasil pengukuran kepala spermatozoa sapi sebanyak 2000 spermatozoa didapatkan rata-rata panjang kepala 8,75± 0,25 µm dan rata –rata lebar kepala 4,12± 0,22 µm. Hasil pengukuran besar kepala spermatozoa (panjang x lebar) pada semen segar diperoleh rata-rata 32,75± 2,36 µm.
Beberapa penelitian menggunakan variasi medium albumin memperoleh hasil yang variatif pula, antara lain :
- Hendri (1992) : konsentrasi tunggal suspensi BSA 6% menghasilkan 83,3% jantan dan 16,7 betina pada bagian bawah dan 61,5% betina dan 38,5% jantan
- Jaswandi (1992): konsentrasi bertingkat BSA 6% pada lapisan atas dan 10% pada lapisan bawah didapatkan 62,5 % jantan; 37,5% betina dan pada lapisan tengah 22,2% jantan;77,8% betina.
- Saili (1999) : konsentrasi putih telur bertingkat 10% pada lapis atas, 30% dan 50% paling bawah diperoleh sperma Y 71,5% pada lapisan konsentrasi 30%, dan 73,5% pada konsentrasi 50%
KESIMPULAN
Apapun teknik sexing yang digunakan, pastinya hasil yang diperoleh bertujuan mendapatkan keturunan dengan jenis kelamin yang diinginkan, sehingga pola dan arah pengembangan populasi ternak semakin jelas. Semakin menipisnya jumlah populasi betina murni lokal produktif dari tahun ke tahun maka sudah saatnya diterapkan aplikasi IB menggunakan semen beku sexing. Arah pengembangan semen sexing jantan untuk sapi sapi Eropa (Simmental dan Limousin) dan semen sexing betina untuk sapi lokal (Brahman dan PO) serta FH untuk meningkatkan produktifitas susu.
No comments:
Post a Comment